Category Archives: Life

UNTUK YANG TERKASIH…

IMG_20150822_105303

Kekasihku,

Di hari istimewamu ini, maafkan aku karena tak berada di dekatmu.  Maafkan aku karena tak dapat mengucapkan selamat ulang tahun tepat di depanmu.  Tapi ketahuilah sebuah fakta sederhana, bahwa tanpa sepatah kata sekalipun, Tuhan tahu betapa aku mencintaimu—tak hanya sekedar mengingat ulang tahunmu.  Dalam setiap doaku ada namamu; dan dalam setiap harapan terbaikku, kamu selalu “the top of the list”.

Sayangku,

Aku bersyukur bahwa Tuhan telah setia memeliharamu 38 tahun ini, dan kini aku tahu bahwa Tuhan melakukan semua itu untukku.  Tuhan hanya ingin melengkapi hidupku yang penuh kekurangan dan kelemahan; itu sebabnya Dia mempertemukanku denganmu.  Kamu adalah seseorang dengan misi yang Tuhan embankan di pundakmu: menyempurnakanku.  Menyadari semua ini, aku patut bersyukur bahwa kamu bersedia mengemban misi yang berat itu…hingga saat ini.

Tentu saja misimu berat, bahkan teramat berat.  Aku adalah manusia dengan berjuta kelemahan, serta penuh keterbatasan.  Ketika seseorang harus melengkapi kekuranganku, dan menutup kelemahanku, maka ia harus seseorang yang luar biasa.  Ia harus luar biasa, karena ada jutaan lubang yang harus ia tutup, dan segudang kekurangan yang harus ia lengkapi.

Wanita hebatku,

Tujuh belas tahun lebih kamu telah membuktikan, bahwa amanat Tuhan itu mampu kamu jalani.  Aku sadar bahwa caraku mencintaimu adalah sesuatu yang berbeda yang sangat sulit kamu pahami, tapi kamu bertahan dalam segala kesulitan itu.  Akupun paham bahwa sangat sulit bagi siapapun untuk memahami caraku memandang hidup, tapi kamu tak pernah berhenti belajar untuk mengerti itu.  Di mataku, kamu adalah seorang pejuang.

Aku hanya dapat berterima kasih: kepada Tuhan, kepadamu, dan kepada kehidupan yang telah mengantarku padamu. Kepada Tuhan kuucapkan syukurku atas pemeliharaannya dalam hidupmu sehingga aku dapat berjumpa denganmu.  Kepadamu aku sampaikan rasa hormatku atas segala kesetiaanmu menemaniku menjalani hari-hari bersama anak-anak kita, dan yang jauh lebih berat adalah atas kekuatanmu untuk mengerti aku.  Kepada kehidupan, aku bersyukur bahwa pintu untukku bertemu denganmu telah dibukakan, dan selalu ada pintu-pintu yang terbuka untuk setiap persoalan yang aku dan kamu hadapi dalam perjalanan kita.

Istriku, sahabatku, wanita terkasihku,

Kamu lebih dari sekedar anugerah buatku.  Kamu adalah sebuah kehormatan, dan aku bangga menjadi orang terdekatmu.  Selamat ulang tahun, Tuhan mengasihimu.

Marseille, 20 September 2015, 16.15

Sebuah Oase Kecil, dan Pengingat Yang Besar

Bripda Taufik yang saya hormati,

Kita bisa berbagi cerita yang nyaris sama, dan sungguh salut atas keyakinan anda akan kebesaran serta keadilan Tuhan, juga cinta anda untuk keluarga anda. Doa terbaik saya untuk kesuksesan hidup dan karier anda, dan salam hormat saya untuk Bapak Triyanto yang luar biasa, yang mengingatkan saya pada Ayah saya…

Salam bangga,

J.K.Ginting

http://regional.kompas.com/read/2015/01/15/06450061/Kisah.Bripda.Taufik.Wujudkan.Mimpi.Jadi.Polisi.meski.Tinggal.di.Bekas.Kandang.Sapi

Tepatkah “Merayakan” Natal?

Minggu lalu saya berdialog kecil dengan putri saya Mita:

Mita     : “Papa, kapan kita pasang pohon Natal-nya?”

Saya   : “Iya nanti kita pasang, Nak. Tapi yang penting, adek tahu bahwa pohon Natal itu cuma aksesoris. Yesus ngga minta kita ber-Natal dengan pohon-pohonan, atau dengan makanan ini itu, atau baju baru. Hati adek yang harus ber-Natal.”

Mita     : “Maksudnya, Pa?”

Saya   : “Maksudnya, hati adek yang harus siap menyambut Natal. Natal itu kan mengingat kelahiran Yesus ke dunia, nah, berarti hati adek harus selalu terbuka untuk Yesus. Karena Yesus membawa kasih dan damai sejahtera, maka kita juga harus begitu. Yesus kan lahirnya malah di kandang domba yang sederhana, hidupnya juga ngga bermewah-mewah. Matinya di kayu salib. Makanya, lucu kan kalau kita Natalan malah dengan berfoya-foya, menghias ini itu? Emangnya adek mau menyambut manusia atau menyambut Tuhan? Hehehe…”

Mita     : “Ooooo… Trus, pohon Natal-nya kita pasang ngga?”

Saya   : “Kalau mau pasang ya ngga papa, ngga pasang juga ngga masalah.”

————————————————————————

Setiap tanggal 25 Desember, umat Kristiani di seluruh dunia “merayakan” Natal. Adalah sebuah pemandangan yang jamak bahwa pada hari itu (plus tanggal 24 malam), gereja-gereja penuh sesak, rumah-rumah berbenah dengan pohon Natal (atau pohon terang), ibu-ibu sibuk memesan dan menata kue, dan anak-anak sibuk berdandan dengan baju barunya. Bagi banyak orang di era modern ini, Natal adalah momen perayaan, selebrasi, dan bahkan “show-off” hehehe…

Bagi saya pribadi, Natal adalah sebuah isyarat atau perlambang batiniah ketimbang lahiriah. Natal bukan persoalan pohon terang, makanan enak, baju baru, kado, dan sebagainya.   Belum ada juga bukti otentik dan ilmiah tentang kepastian tanggal lahir Yesus di kalender Masehi.   Namun apapun itu, adalah sebuah fakta sejarah bahwa Yesus Kristus telah terlahir ke dunia (setidaknya dua agama besar mengakui itu: Islam yang mengenal Yesus sebagai Nabi Isa AS, dan agama Kristen itu sendiri). Jadi, terlepas dari kesahihan ilmiahnya, Natal dalam perspektif kelahiran Yesus Kristus adalah fakta nyata.

Saya lebih suka untuk mengatakan bahwa Hari Natal (sebagaimana hari-hari besar agama lainnya) semestinya kita “maknai”, bukan “rayakan”. Tanggal berapapun Natal itu, itulah saat setiap mereka yang percaya memaknai dalam hatinya betapa Tuhan Sang Pencipta Kehidupan begitu mencintai kita dengan menghadirkan kasih melalui seorang bayi mungil di Bethlehem bernama Yesus Kristus. Tuhan yang begitu penyayang mau merendahkan diriNya menjadi sama dengan manusia: lahir dengan sederhana, menjalani kehidupan yang keras, dan mati dengan bilur-bilur luka. Itu adalah bentuk pengorbanan yang tak akan mampu ditiru oleh siapapun, dan sebuah manifestasi cinta yang hakiki.

Sejarah yang tercatat tentang kelahiran Kristus sendiri jauh dari kesan mewah atau berada. Yusuf dan Maria (ayah dan ibu Yesus) harus berjalan jauh sebelum tiba di Bethlehem karena sudah waktunya bagi Maria untuk melahirkan anak dalam kandungannya. Tak ada yang mau memberi tempat bagi kedua orang asing ini sebelum akhirnya mereka mendapatkan sebuah kandang domba, dan di situlah Maria melahirkan bayinya. Yang pertama menjenguk bayi Yesus pun adalah para gembala, perlambang begitu dekatnya Tuhan dengan mereka yang kecil dan dianggap hina. Beberapa hari setelahnya, Tuhan mendatangi Yusuf melalui mimpi bahwa ia harus segera membawa bayi Yesus keluar dari sana karena Raja Herodes telah memerintahkan untuk membunuh semua bayi di bawah dua tahun di Bethlehem. Yesus selanjutnya besar sebagai seorang warga Nazareth, hingga Dia dikenal sebagai “Yesus Orang Nazareth”.

Pengingatan umat Kristiani tentang Natal mengalami metamorfosis yang sarat dengan campuran budaya lokal, khususnya di Eropa sejak abad ke-3 atau ke-4 Masehi. Dari situlah muncul penggunaan pohon cemara yang dihiasi dengan berbagai ornamen dan lampu-lampu sehingga sebagian orang menyebutnya “pohon terang”. Dari sana pula muncul tradisi pemberian kado-kado Natal, serta “pemberian Tuhan” lewat figur Santa Klaus atau Sinterklas (awalnya bernama Santa Nikolas). Saking lamanya tradisi itu berjalan, hari ini Natal identik dengan semua kebendaan itu, dan celakanya, substansi pesan Natal itu sendiri terkikis dalam benak umat Kristen.

Bagi saya, substansi Natal ada dua: pertama adalah KASIH, kedua adalah PERUBAHAN. Tuhan menunjukkan kasihNya sehingga Dia mengirimkan anakNya yang tunggal ke dunia untuk menjadi sama dengan manusia, dan mengangkat dosa-dosa manusia melalui kematianNya di kayu salib. Tuhan juga hadir dalam wujud Yesus Kristus (sesuai filosofi Trinitas Ketuhanan dalam keyakinan Kristen) untuk menghadirkan perubahan ke dunia yang sudah penuh dengan pemahaman yang salah, kesesatan jalan hidup, serta penyimpangan-penyimpangan akidah. Itulah pijakan terpenting—menurut saya—kala kita memperingati Natal Kristus. Bukan semata-mata kehadiran ragawiNya ke dunia yang kita peringati (terlepas apakah benar Kristus lahir pada tanggal 25 Desember atau tidak), melainkan kelahiran pesan-pesan moral bagi dunia yang sudah penuh cemar.

So, hendaklah kita ber-Natal setiap hari, dalam arti membawa semangat kasih dan gairah untuk membuat perubahan yang positif dari waktu ke waktu. Tanggal 25 Desember hanyalah sebuah tanggal pengingat, bahwa Tuhan begitu peduli pada dunia kita, pada hidup kita, dan apapun yang terjadi pada umat ciptaanNya. Yesus lahir dan hidup selama lebih kurang 33 tahun bukan dalam kemewahan, dan bukan pula melalui jalan hidup yang mudah.   Jadi aneh rasanya bahwa Natal justru “dirayakan” dengan aneka aksesoris mewah, gemerlap lampu dan tumpukan kado.

Natal bagi saya adalah saat paling tepat untuk mengingat kembali penyertaan Tuhan dalam rentang waktu yang telah berlalu, yang tak habis-habis bagai air sungai yang setia mengalir. Saya tahu, banyak orang yang di hari itu justru sedang merasakan derita karena bencana alam, kelaparan, kehilangan orang-orang terkasih, dan hidup dalam kekurangan. Natal ini, seperti sebelum-sebelumnya, saya hanya bisa memanjatkan doa yang paling tulus dari lubuk hati saya untuk mereka, seraya berharap mereka tetap setia dalam keyakinan bahwa Tuhan tidak sedang meninggalkan mereka. Natal ini, saya mengirimkan doa terbaik saya untuk semua yang saya kasihi, dan semua orang yang sedang menjerit meminta Tuhan menjawab pergumulan mereka.

Kalaupun pada Natal ini anda belum dapat “merayakannya”, tidak ada alasan untuk berkecil hati. Kalaupun hari Natal anda tanpa pohon terang, tanpa makanan enak, tanpa kado, atau tanpa orang-orang tersayang di dekat anda, Natal itu tetap ada dan tetap nyata. Selama anda percaya dan membuka hati anda selebar-lebarnya untuk kedatangan Tuhan dengan kasih, semangat serta keselamatan yang dibawaNya, maka anda justru telah ber-Natal dengan jauh lebih baik ketimbang mereka yang hanya “memahami” Natal dengan pernak-pernik kebendaan semata.

Percayalah bahwa Tuhan itu setia, dan Natal itulah buktinya. Selamat memaknai Natal, saudara-saudaraku terkasih…

INSPIRASI GAYATRI

Tidak sering saya menulis dua tulisan dalam selisih yang cuma hitungan hari. Tapi hari ini, terus terang saya terlalu terharu karena sebuah berita yang saya baca di sebuah media online, dan tidak tahan untuk tidak menulis apa yang saya rasakan. Berita itu adalah tentang seorang wanita muda bernama Gayatri Wailissa (17 tahun), yang meninggal dunia di RS Abdi Waluyo Jakarta Kamis (23/10/2014) malam. Dalam usia belianya, ia adalah seorang polyglot yang menguasai 14 bahasa. Barangkali bakat-bakat sejenis banyak kita lihat di sekitar kita, namun bagi saya Gayatri adalah seorang yang berbeda.

Gayatri ternyata jauh lebih dewasa dibandingkan usia biologisnya. Dia seorang yang begitu mampu mengelola persoalan dengan sebuah pendekatan yang cemerlang: “berpikir dan berbuat di luar kotak”. Filosofi itu umum di masa sekarang (meskipun tak banyak juga yang memahaminya), sayapun memiliki filosofi yang sama. Yang membuat itu tidak umum adalah bahwa filosofi hebat itu dipahami betul oleh seorang yang masih belia. Di usia itu, remaja kita umumnya masih sangat klasik dalam berpikir, dan masih pragmatis dalam memecahkan masalah.

Tidak banyak anak muda yang mau mempelajari bahasa asing, apalagi secara otodidak. Tidak banyak orang yang mampu mengelola perasaan kecewanya dengan terus berusaha dan berjuang.   Tidak banyak orang yang mampu bertahan dari perasaan “ditolak”, “tidak dianggap”, atau “diabaikan”.   Tidak banyak juga orang yang telah dipercaya menjadi duta bangsa mampu menerima kenyataan bahwa prestasinya kalah populer di media dibandingkan dengan sebuah kontes “ratu-ratuan”, “idol-idolan”, atau pernikahan bermilyar-milyar rupiah seorang selebriti (yang tidak jelas apa yang telah diperbuatnya untuk bangsa ini).

Itulah yang mempesona saya dari seorang Gayatri. Ia adalah salah satu dari yang “tidak banyak” itu. Hebatnya lagi, mentalitas itu ia miliki dalam usia muda, saat berjuta remaja lainnya lebih memilih untuk membiarkan diri mereka terjebak dalam euforia sekularisme dan kesalahan memilih panutan. Gayatri menghabiskan waktunya untuk memanfaatkan buku guna memahami tata bahasa, mendengarkan lagu untuk mempelajari pelafalan, dan membuka kamus untuk menambah khasanah kosa kata. Dia tidak terjebak dalam kepasrahan karena kesederhanaan orang tuanya yang tidak mampu memasukkannya ke kursus-kursus bahasa. Dia tidak mau terperangkap dalam kekecewaan karena Gubernur Maluku menolak permohonan bea siswanya. Dia juga tidak larut dalam kesedihan berlebih saat mendapati kenyataan bahwa “seorang duta bangsa tidak penting untuk pemerintah kita”.

Saya betul-betul kagum pada anak muda ini, dan paham sekali apa yang ia rasakan. Memang sakit rasanya, bila potensi dan prestasi kita tidak mendapat penghargaan yang sepadan. Tidak mudah untuk berjuang dan bertahan di sebuah komunitas yang serba kuantitatif, komunitas yang menghargai seseorang hanya karena kekayaannya, kekuasaannya, parasnya, atau golongannya. Komunitas yang angkuh, yang hanya berkata “Who the hell are you?” atau “Memangnya kamu siapa?” kepada mereka yang berprestasi tapi tidak kaya, tidak berkuasa atau punya koneksi ke penguasa, tidak rupawan, atau tidak berasal dari golongan tertentu. Komunitas yang dikuasai para preman yang hanya tahu “meminta jatah”, dan para pencoleng yang memanfaatkan jabatan untuk kepentingan dirinya sendiri.

Mungkin banyak Gayatri lainnya di negeri ini. Yang jelas, dari orang-orang seperti ini kita patut belajar, bahwa banyak jalan menuju cita-cita dan menembus batasan. Belajar dan menguasai 14 bahasa asing dengan otodidak bukan sesuatu yang main-main, dan dengan itulah Gayatri telah menunjukkan cara hidup yang dipenuhi ungkapan syukur, bukan keluhan-keluhan. Baginya, masalah hidup akan tetap ada, dan tidak ada satu keluhanpun yang akan membuat masalah selesai atau makin mudah. “Sisi-sisi kotak” itu akan tetap di sana, dan tak ada gunanya kita menabrakkan diri kita ke sisi-sisi kotak itu. Keluarlah dari dalamnya, dan jadikan dirimu merdeka. Tempatkan dirimu di luar kotak itu, dan buat setiap langkahmu lebih ringan dan leluasa.

Selamat beristirahat dalam damai, Gayatri…

PERUBAHAN: Titipan Pesan Dari Semesta…

Beberapa hari terakhir, bangsa ini tenggelam dalam euforia demokrasi setelah Presiden ke-7 Republik Indonesia dilantik tanggal 20 Oktober lalu. Saya prajurit yang tidak berpolitik, dan tidak soal bagi saya siapapun yang menjadi presiden. Namun, saya cukup senang dengan berbagai perkembangan ini, yang berjalan dengan penuh damai, serta mengucapkan selamat atas dilantiknya Bapak Ir. Joko Widodo dan Bapak Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode 2014-2019.

Fenomena ini adalah sebuah momentum yang layak kita tangkap dan cermati. Banyak dari kita yang lupa, tidak tahu, atau pura-pura lupa dan pura-pura tidak tahu. Siapapun yang berkeyakinan, beriman, dan mengamini kebesaran Tuhan pastilah paham, bahwa Tuhan melalui alam semesta punya kehendakNya sendiri, yang tak seorangpun akan sanggup membendungnya. Dunia kita sesungguhnya telah menghadirkan banyak sekali pesan melalui beragam fenomena, kejadian-kejadian monumental, dan peristiwa-peristiwa yang sarat peringatan. Persoalannya sekarang, cukup cerdas dan pekakah kita untuk memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh semesta itu?

Pesan Pertama: Tuhan Maha Adil.

Kita sering mengucapkan premis ini: “Tuhan Maha Adil”. Namun faktanya, banyak dari kita yang lebih memilih bersikap dan bertindak pragmatis kala situasi di sekeliling kita tampak “tak bersahabat”. Bahkan mereka yang terbiasa bekerja keras pun panik ketika melihat berbagai perkembangan yang terjadi, dan berganti haluan mengambil “jalan pintas”. Hampir tak ada yang percaya bahwa “semua yang baik akan mendapatkan yang baik”, “semua yang bekerja keras akan menuai hasil kerja kerasnya”, “siapa yang busuk akan menjadi bangkai dengan kebusukannya”, “siapa yang jahat akan dihukum”, dan sebagainya. Kita sering tak sabar menunggu Tuhan menunjukkan keadilanNya, tak mau berlama-lama menanti semesta menunjukkan kearifannya untuk menghargai mereka yang baik, atau menghukum mereka yang jahat. Fenomena Jokowi, sekali lagi, bukan sesuatu yang luar biasa. Begitulah Tuhan dengan keadilanNya, Dia tahu bagaimana memberi imbalan kepada seorang yang jujur, bekerja keras, dan tak lupa pada bumi tempatnya berpijak.

Pesan Kedua: Kodrat alam “Pemimpin” adalah untuk “Yang Dipimpin”.

Secara harfiah saja, “pemimpin” mengandung makna “orang yang memimpin”. Artinya, ia ada karena ada yang (harus) dipimpin. Jadi, pemimpin bukanlah ia yang ingin menjadikan tampuk kepemimpinannya untuk kepentingan dirinya sendiri atau segelintir orang dekatnya. Ia didaulat untuk memperjuangkan kepentingan orang-orang yang dipimpinnya. Itulah sebabnya, bagi saya kemenangan Jokowi sebenarnya bukan sesuatu yang luar biasa, karena itu sebenarnya hanya sebuah fase di mana alam semesta mengembalikan sesuatu kepada kodratnya semula. Juga, bagi saya tidak mengejutkan melihat lautan manusia sepanjang Jl. Soedirman dan Jl. Thamrin hingga ke Istana Merdeka sesaat setelah ia dilantik di Senayan. Semua yang sesuai dengan kehendak semesta pasti diterima banyak orang, itu inti pesannya.

Pesan Ketiga: Alam semesta bisa merasa muak akan kebebalan manusia.

Seperti cerita tentang tenggelamnya orang-orang yang mencela Nabi Nuh yang membuat bahtera di atas gunung, sebenarnya semesta juga telah banyak mengingatkan manusia bahwa kehendak manusia tak pernah mampu berhadapan dengan kehendak semesta. Ketika sekelompok manusia diperlakukan tidak adil hanya karena warna kulitnya, semesta membungkam mereka dengan tampilnya seorang pria kulit hitam sebagai presiden di sebuah negara adidaya. Fenomena Jokowi juga sebuah petunjuk bahwa tak ada seorang manusiapun yang pantas untuk diinjak-injak atau ditutup kesempatannya untuk menjadi yang terdepan. Para politisi boleh merasa bahwa deretan nama besar, kekuatan uang, partai politik dan lain-lain bisa menentukan segalanya, namun kala semesta muak dengan arogansi manusia, semesta akan menghukum keangkuhan itu dengan caranya sendiri.

Pesan Keempat: Jangan pernah berpikir bahwa anda tahu semuanya.

Pragmatisme manusia umumnya didasari oleh pemahamannya sendiri yang dangkal. Orang melihat situasi hari ini begini, lalu menganggap “semuanya akan terus begini sehingga saya harus mengambil langkah ini”. Ada sekelompok orang yang merasa ia akan “baik-baik saja” di masa depan karena hari ini mereka menikmati sekian banyak hak-hak istimewa karena kebobrokan sistem. Mereka membangun keangkuhan atas pemahaman bahwa karena hari ini kelompok mereka “berjaya”, mereka akan terus berjaya. Patutlah kita belajar dari fenomena Jokowi ini, yang kira-kira lima tahun lalupun, tak ada yang berpikir bahwa ia akan menjadi orang nomor satu di Indonesia. Sekali lagi, kita tidak tahu apa-apa. Tuhan yang tahu semuanya, kita hanya perlu mempersiapkan diri untuk berbagai ketidakpastian itu.

Tuhan melalui alam semesta telah menitipkan jutaan pesan untuk kita. Jaman akan menuntut sesuatu yang kodrati dengan caranya sendiri, sehingga orang-orang bijak akan memahami bahwa perubahan adalah keniscayaan. Siapapun yang tak mau merubah dirinya sendiri akan diubah oleh alam semesta; caranya pasti tidak enak. Siapapun yang menganggap perubahan tidak akan terjadi, alias mereka yang tidak menyiapkan dirinya untuk perubahan, akan menjadi korban dari perubahan itu sendiri.

The only certainty in life is uncertainty

I can only say THANK YOU: The Testimony

Bukan aku yang telah memberi; kalianlah yang telah berbuat.

Bukan aku yang berbeda; kalianlah yang istimewa.

Aku sadar, tanpa kalian aku bukan siapa-siapa.

Untuk semuanya, aku hanya bisa berkata: TERIMA KASIH…!

SURAT UNTUK PARA SAHABAT…

Hore1Dear sahabat-sahabatku,

Aku ingin meluangkan sedikit waktu untuk mengatakan beberapa hal yang tak sempat terucapkan saat aku masih bersama kalian, karena bibirku tak sanggup melakukannya. Aku meminta maaf bila waktu kalian tersita untuk membaca surat ini.

Aku hanya ingin berterima kasih atas kebersamaan yang luar biasa indahnya selama satu tahun empat bulan terakhir. Baru dua hari tak bersama kalian lagi–terus terang saja–telah menyiksaku dengan jutaan kerinduan. Aku mengingat lagi rutinitasku setiap pagi memarkir mobil di depan ruang kerjaku, lalu mendengar satu-dua dari kalian yang melintas meneriakkan “Selamat pagi, Komandan…!” sambil menghormat. Bukan penghormatan itu yang aku rindukan, karena aku yakin sampai sekarangpun aku tak kehilangan itu semua. Aku kehilangan senyuman di wajah kalian; senyuman yang memancarkan semangat dan ketulusan untuk bekerja denganku membangun satuan kita. Ketulusan yang kini hanya bisa kuingat dan kukenang tapi tak bisa kulihat lagi, dan hanya dalam hati saja akan menjadi bagian dari hari-hariku ke depan.

Sahabat-sahabatku,

Ketahuilah bahwa aku begitu bersyukur kepada Tuhan yang telah memberiku waktu untuk mengenal kalian. Aku telah menjalin kebersamaan dengan banyak orang di Bogor dan Jakarta sebelum bersama kalian, dengan rentang waktu yang lebih panjang dari kebersamaan kita. Namun, meski paling singkat dibandingkan dengan yang lain, kebersamaan dengan kalianlah yang paling berkesan dan paling dalam meninggalkan bekas di relung hatiku. Itu karena pada awalnya aku begitu angkuh dan naif “menolak” kebersamaan ini, dan begitu ingin segera pergi meninggalkan kalian. Tapi pada 12 Agustus malam kemarin, aku menyadari bahwa aku telah jatuh cinta pada kalian semua, pada satuan yang kita banggakan bersama ini. Malam itu aku menyesali keangkuhanku, setelah aku sadar bahwa amat berat meninggalkan kalian semua.

Aku juga bersyukur pada Tuhan yang telah memberiku sebuah sikap mental profesional untuk bekerja sebaik-baiknya di manapun berada, sekalipun itu tak kusukai. Itulah yang mendorongku untuk menghabiskan waktuku berpikir dan bekerja agar kalian semua tidak salah berbuat, tidak gagal, dan tidak tersesat. Hanya hal sederhana itu yang aku lakukan satu tahun empat bulan ini, dan Puji Tuhan, kalian bisa memahami serta menerimanya. Dari situlah kusadari kenaifan serta kebodohanku, karena pada akhirnya aku menyadari apa maksud Tuhan menempatkanku di tengah-tengah kalian.

Sahabatku warga Satuan Pemeliharaan 16,

Terima kasih telah memberikan pundak kalian untuk menjadi tempatku berdiri, sehingga banyak orang melihatku tinggi, dan aku penuh dengan puja-puji. Terima kasih telah menopangku dengan tulus, meski aku tak pernah memberi kalian apa-apa. Terima kasih telah menemaniku berjuang membangun satuan kita, membuatnya lebih bersih, lebih tertib, lebih maju, dan lebih bermartabat. Terima kasih telah memahami visiku untuk mewujudkan sebuah satuan yang bisa dibanggakan, dan membuat semua mata mengarah pada kita. Terima kasih, karena telah membuat semua orang melihat kita berbeda. Sadarilah, bukan aku yang berbeda. Semua itu bisa terjadi karena kalianlah yang berbeda, alias tidak sama dengan orang lain. Itulah sebabnya aku tak henti-hentinya membanggakan kalian, dan semangatku menjadi tak pernah putus untuk bekerja bagi satuan kita.

Maafkan aku karena tak ada yang mahal yang bisa kuberikan. Aku hanya bisa memberikan waktu, energi, pikiran, serta hatiku untuk kalian. Maaf juga karena telah merepotkan kalian menjemput atau mengantar istri dan anak-anakku, serta keperluan pribadi lain yang sebenarnya kalian tak punya kewajiban untuk itu. Aku mengingat semua itu dengan mata berkaca-kaca, karena aku melihat kalian tetap melakukannya dengan berjuta ketulusan. Juga, maafkan aku untuk segala hal yang tak bisa kupenuhi bagi kalian, serta segala upayaku yang mungkin belum sesuai harapan kalian. Aku tetaplah manusia biasa yang penuh kekurangan.

Sahabat-sahabatku yang selalu kukenang,

Ini suratku untuk kalian semua, 61 orang hebat yang telah Tuhan hadirkan dalam hidupku. Aku selalu mengingat senyumanmu, ketulusanmu, serta semangatmu bekerja bersamaku. Aku mengenang serah terima jabatan tanggal 13 Agustus kemarin yang begitu luar biasa, dan aku yakin belum pernah ada di belahan Indonesia manapun sebelumnya. Itulah sebabnya kutulis surat ini, karena saat berdiri untuk terakhir kalinya di depan kalian semua saat itu, mulutku seakan terkunci untuk berbicara banyak. Meski demikian aku sadar, beribu pujian serta ungkapan terima kasihku tak akan pernah sepadan dengan jutaan ketulusan yang telah kalian berikan untukku.

Teruslah berkarya, sahabat-sahabatku. Tingkatkan kualitas dirimu, karena itu yang akan menentukan seberapa nilai dan hargamu kelak.  Tegakkan jati diri kalian, jaga kebanggaan satuan kita, dan pelihara semua yang telah kita bangun bersama. Hingga akhir hayatku, aku akan selalu membanggakan dan mengingat kalian semua. Aku berdoa Tuhan selalu menyertai kalian, dan sudi memberiku waktu untuk melepas rinduku pada kalian suatu saat nanti.

Bogor, 15 Agustus 2014

Hormat dan Banggaku,

Jon K. Ginting

P.S.:

Terima kasih juga untuk:

1.  Tuhan Yesus Kristus, atas teladan kepemimpinanNya yang menginspirasiku.

2.  Akademi Angkatan Udara, atas edukasi kepemimpinan saat aku menjadi seorang Taruna.

3.  Baret Mabes TNI, yang menguatkanku untuk tidak meneteskan air mata saat mengucap kata perpisahan dengan para sahabatku.

SEPAKBOLA, BERTERIMA KASIHLAH KEPADA JERMAN…!

Sejak mengenal sepakbola pasca Piala Dunia Meksiko 1986 (kala itu saya kelas 6 SD), tim nasional favorit saya hingga detik ini tidak berubah: Jerman. Itu sebabnya saya sampai melompat kegirangan di depan layar TV saya saat menyaksikan gol Mario Goetze yang membawa Jerman menjadi juara Piala Dunia 2014, dan mencatatkan sejarah baru sebagai tim Eropa pertama yang menjadi juara dunia di tanah Amerika Latin. Saya tidak bermaksud mengulas soal teknik atau taktik dalam pertandingan final itu, melainkan saya hanya ingin menjelaskan mengapa saya suka sepakbola ala Jerman, dan begitu ingin melihat Jerman memenangkan Piala Dunia kali ini.

Sepakbola Adalah Olahraga Tim

Dalam tulisan saya sebelumnya, saya menyinggung soal hakekat sepakbola sejak ia diciptakan, yang untuk gampangnya saya bahasakan sebagai “kodrat” sepakbola. Sepakbola diciptakan untuk dimainkan oleh 11 orang dengan peran masing-masing di lapangan: ada kiper, ada pemain belakang, tengah, depan, sektor kiri, kanan dan sebagainya. Semua itu bukan tanpa maksud. Ada pembagian tugas dan tanggung jawab di dalamnya, yang wajib dijalankan oleh setiap pemain untuk mencapai tujuan yang sama: menciptakan gol sebanyak mungkin ke gawang lawan, dan mencegah gol lawan ke gawang kita. Jadi, kemenangan adalah buah kerja tim secara menyeluruh, dan kekalahan adalah tanggung jawab semua individu dalam tim. Beban moril atau tanggung jawab itu terdistribusi sama untuk semuanya. Bila filosofi ini dipahami, permainan sepakbola tidak akan menjadikan beban seorang pemain tertentu lebih berlipat ganda dibanding pemain lainnya. Bila itu terjadi, 11 orang itu bukanlah sebuah tim, melainkan sekumpulan orang yang terdiri atas seorang pemain dibantu 10 pemain lainnya.

Inilah yang dipahami sepakbola Jerman sejak dulu. Tak hanya di level tim nasional, di level klub pun Jerman selalu memainkan sepakbola kolektif, sarat kerjasama antar lini, dan bermain total sebagai sebuah tim. Jerman tak punya pemain sekaliber Pele pada jamannya, atau Maradona pada eranya, atau Messi dan Ronaldo saat ini. Namun demikian, Jerman sudah memenangkan Piala Dunia empat kali. Jerman memang punya nama-nama seperti Franz Beckenbauer, Karl-Heinz Rummenigge, Lothar Matthaus, atau Juergen Klinsmann. Tapi di era mereka masing-masing, banyak pemain dari negara lain yang secara obyektif dapat disejajarkan dengan mereka.

Amat tepat Jerman dijuluki “Die Mannschaft” (Tim). Sebaliknya, secara pribadi saya sulit menerima kenyataan bahwa Argentina atau Brasil bisa menembus semifinal, bahkan Argentina melaju hingga final. Brasil terbukti hancur oleh kolektifitas Jerman, Argentina hanya bernasib mujur menang lewat adu penalti melawan Belanda yang jauh lebih kolektif (dan lebih pantas melawan Jerman di final). Di final lalu, saya membayangkan bila Argentina yang menjadi juara dunia, betapa mundurnya sepakbola. Semua orang akan berpikir bahwa untuk mencapai prestasi hebat, kita cukup mempunyai satu pemain hebat. Pemikiran ini yang akan menjauhkan sepakbola dari nilai intinya sebagai sebuah olahraga tim, dan bagi saya itu adalah sebuah pengingkaran kodrat.

Sepakbola Adalah Sebuah Seni Dalam Olahraga

Sebagai sebuah seni, sepakbola adalah sebentuk hiburan dengan lapangan hijau sebagai panggungnya. Sepakbola dirancang untuk atraktif, dan mampu memberi kepuasan bathin bagi siapapun yang menyaksikannya. Kemampuan menghibur dalam sepakbola tidak mesti bertentangan dengan misi para pemain di lapangan, yaitu untuk menang. Hal ini sebenarnya sudah diakomodir oleh FIFA melalui beberapa aturan dalam pertandingan. Aturan offside misalnya, dibuat agar pemain penyerang tidak “ngetem” atau “mangkal” di daerah pertahanan lawan (seperti halnya dalam permainan bola basket). Aturan offside pada gilirannya akan memacu para pemain untuk meningkatkan kualitas berlari (sprint)-nya, agar bisa lebih cepat menguasai bola dari pemain bertahan lawan meskipun ia berada lebih jauh dari gawang. Begitu juga aturan back-pass yang tidak boleh ditangkap oleh kiper. Aturan ini dibuat agar tim yang sudah unggul tidak mengulur-ulur waktu di daerah mereka sendiri, yang bisa membuat pertandingan menjadi membosankan. Intinya, semua aturan itu dibuat agar sepakbola menjadi lebih atraktif, dan bisa menghadirkan hiburan berkelas bagi penonton.

Sekali lagi, Jerman menunjukkan kualitas ini. Permainan mereka mengalir bagai simponi sebuah orkestra dari kaki ke kaki, berpindah dari kanan ke tengah, lalu ke kiri, dan sebaliknya. Tapi saat mereka punya kesempatan bagus, mereka akan menjadi sebuah mesin pembunuh yang mematikan. Lihat saja gol-gol Jerman di Piala Dunia 2014 yang hampir semuanya dibuat di dalam kotak penalti lawan, yang menunjukkan bahwa “orkestra” mereka mampu menembus kedalaman pertahanan lawannya. Dalam laga final sekalipun, mereka berani memainkan bola-bola pendek, dan tidak terburu-buru dalam menyerang meski harus mencetak gol. Irama permainan, itu yang mereka atur layaknya irama musik (kapan harus keras, kapan harus lembut, dan seterusnya). Berbeda dengan Kosta Rika yang sengaja bertahan melawan Belanda untuk menunggu adu penalti (yang akhirnya gagal juga), atau Argentina yang menggunakan skema yang nyaris sama di final melawan Jerman.

Itulah sebabnya, meski tidak dilarang, adalah tidak etis bagi sebuah tim untuk bermain bertahan dengan menempatkan banyak pemain di kotak penalti (yang oleh beberapa pelatih ternama disebut dengan “parkir bus”). Memang itu bagian dari strategi bermain yang sah-sah saja diputuskan oleh pelatih. Tapi seandainya cara bermain seperti ini “dilestarikan”, sepakbola harus siap ditinggalkan oleh pecintanya, bahkan bukan tidak mungkin kelak akan tinggal kepingan sejarah. Para praktisi sepakbola, apakah itu pemain, pelatih, atau pengurus sepakbola, harus sadar bahwa nilai-nilai dasar seperti inilah yang telah membesarkan sepakbola, dan menjadikannya cabang olahraga paling digemari di planet ini.

Sepakbola Memerlukan Totalitas dan Standar Tertentu

Adalah sebuah nilai universal bahwa setiap sukses memerlukan komitmen, kerja keras dan semangat pantang menyerah. Ukuran sukses itu sendiri sebenarnya sangat luas, mulai dari sukses jangka pendek, menengah, dan panjang. Dalam sepakbola, nilai universal inipun berlaku. Bagaimana setiap tim mendefinisikan “sukses” dalam kamus mereka, itulah yang kemudian akan berdampak pada bagaimana mereka membentuk atau meramu tim. Di level klub, yang kompetisinya berlangsung setiap tahun selama hampir setahun penuh, sukses atau prestasi adalah torehan gelar di liga domestik, liga benua, atau kejuaraan lain di tiap negara. Atas nama “prestasi” atau “sukses” itu, tak jarang pemilik klub bersifat pragmatis dengan membeli pemain-pemain hebat, mendatangkan pelatih ternama, dan lain-lain. Itu yang dilakukan Real Madrid, Chelsea, atau Manchester City. Berbeda dengan Arsenal, Barcelona, atau Bayern Munchen yang lebih memilih untuk membina pemain-pemain muda sebagai kaderisasi bagi kelangsungan tim jangka panjang. Memang untuk beberapa klub seperti Arsenal, hasilnya belum begitu memuaskan setidaknya hingga saat ini, ketika mereka baru berhasil merebut trofi Piala FA tahun 2014 setelah berpuasa gelar sejak 2005. Namun ke depan, Arsenal adalah sebuah klub yang akan semakin kuat.

Tampilnya Jerman sebagai juara dunia 2014 ini adalah buah dari proses panjang ini. Skuad yang dibawa Joachim Loew adalah hasil pembinaan jangka panjang yang dimulai sejak kegagalan mereka di Piala Eropa 2004 (di Portugal). Tahun 2006 saat mereka menjadi tuan rumah Piala Dunia, tim yang baru terbentuk dua tahun itu membuat kejutan dengan menempati peringkat ketiga. Piala Eropa berikutnya tahun 2008 (di Swiss-Austria), mereka menjadi runner-up setelah kalah dari Spanyol. Lalu Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, kembali Jerman menempati peringkat ketiga. Piala Eropa 2012 di Polandia-Ukraina, Jerman kalah di semifinal dari Italia. Pemain-pemain senior saat ini seperti Philipp Lahm, Lukas Podolski, dan Bastian Schwensteiger adalah mereka yang oleh Joachim Loew sejak tahun 2006 sudah dipadukan dengan para senior mereka saat itu seperti Oliver Kahn, Jens Lehmann, dan Michael Ballack.

Di gelaran Piala Dunia 2014 inipun, kita bisa melihat bagaimana Lahm, Klose dan Podolski bisa berpadu padan dengan junior mereka seperti Toni Kroos, Andre Schurrle atau Mario Goetze. Thomas Muller yang adalah top scorer di tim Jerman juga baru berusia 24 tahun. Pemain “tua” seperti Miroslav Klose masih mampu bersaing dan memecahkan rekor pencetak total gol terbanyak di Piala Dunia (16 gol).   Di Piala Dunia 2018 (Rusia) nanti, Schurrle, Muller, Goetze dan pemain-pemain muda lainnya akan memasuki usia emas mereka, dan saat itu mereka sudah menjadi pemain-pemain yang sarat pengalaman internasional. Inilah hasil sebuah pembinaan yang total dan komprehensif, visioner, dan menjamin kelangsungan tim dalam jangka panjang. Selain bervisi dan berkonsep, totalitas Jerman juga didukung dengan kecanggihan teknologi yang mereka gunakan untuk meningkatkan kemampuan otot, kecerdasan bermain, serta aspek teknis lainnya. Semuanya dilandaskan pada sebuah ukuran standar yang tinggi, sehingga hanya mereka yang benar-benar punya kualitas yang dapat bergabung di skuad Jerman.

Tidak mengherankan, siapapun yang diturunkan oleh Loew, daya pukul Jerman tetap sama. Goetze menjadi penentu kemenangan setelah diturunkan menggantikan seniornya Klose. Schurrle mencetak dua gol saat membantai Brasil 7-1 juga sebagai pemain pengganti. Pemain yang telah “berjasa” besar hingga semifinal seperti Sami Khedira bahkan tidak bermain semenitpun di final. Itulah Jerman, yang dengan totalitas dan standar tingginya telah berhasil membentuk sebuah tim dengan kemampuan yang sama pada setiap individunya.

Bagi saya, tampilnya Jerman sebagai juara Piala Dunia 2014 adalah kemenangan bagi sepakbola itu sendiri. Bukan semata-mata kemenangan “sepakbola indah”, “sepakbola menyerang”, atau “total football”, melainkan kemenangan karena akhirnya sepakbola kembali pada kodratnya sebagai sebuah kerja tim, sebuah bentuk karya seni, dan sebuah totalitas berbalut standar yang tinggi. Sepakbola dan semua pecintanya patut berterima kasih pada Jerman atas hal ini.

Vielen dank, Deutschland…!!!

KETIKA SEPAKBOLA MEMBERI KITA PELAJARAN…

Perhelatan Piala Dunia 2014 di Brasil, hingga saya menulis ini, masih menyisakan dua pertandingan lagi: perebutan tempat ketiga (Brasil vs Belanda), dan final (Jerman vs Argentina). Saya tidak akan berbicara teknik, taktik atau strategi yang disajikan oleh 32 tim peserta; juga tidak akan membuat prediksi-prediksi untuk dua pertandingan tersisa itu. Saya justru ingin menulis tentang sisi-sisi lain yang tersaji setelah 62 pertandingan dimainkan. Bagi saya, dari sisi-sisi inilah kita layak untuk mengambil pelajaran serta filosofi bagi kehidupan yang kita jalani.

1. Hasil vs Proses

Setiap tim datang ke Brasil dengan latar belakang mereka masing-masing, yang pada gilirannya membentuk orientasi mereka menghadapi event yang dipandang lebih hebat bahkan dari Olimpiade ini. Setiap pelatih/ofisial pasti telah berhitung, menimbang, dan mencoba bersikap serealistis mungkin saat mereka datang ke negeri Samba. Akhirnya, muncullah berbagai model permainan, taktik, dan strategi yang dibawa ke lapangan hijau. Tim-tim dengan tradisi kuat di gelaran Piala Dunia seperti Brasil, Jerman, Argentina, Italia, atau juara bertahan Spanyol tentu sudah memiliki karakteristik tertentu yang terbentuk seiring waktu. Adalah sangat realistis bila siapapun menjagokan salah satu dari tim-tim itu menjadi juara di 2014 ini. Di sisi lain, tim-tim “medioker” seperti Meksiko, Kolombia, Kosta Rika, Swiss, Aljazair dan sebagainya amat sadar bahwa sudah cukup baik bagi mereka untuk sekedar meloloskan diri dari fase grup. Tim-tim di kelompok pertama tentu lebih berorientasi pada proses mencapai kemenangan di setiap pertandingan. Mereka memiliki banyak pemain yang “di atas rata-rata”, kuat di semua lini, sehingga tidak soal siapapun yang mereka mainkan, di atas kertas hasilnya akan positif. Tinggal bagaimana prosesnya, dan itu yang menentukan siapa yang akan diturunkan oleh pelatih di setiap pertandingan. Sebaliknya, tim-tim di golongan kedua relatif tidak punya banyak pilihan untuk dieksplorasi. Dengan skuad yang “terbatas”, proses menjadi tidak penting. Apapun caranya, bahkan dengan sepakbola negatif sekalipun, tidak masalah asal mereka menang, atau setidaknya tidak kebobolan. Lihat saat Kosta Rika berduel melawan Belanda di perempat final. Strategi “parkir bus” mereka nyaris berhasil, saat mereka berhasil membuat Belanda frustrasi selama 120 menit yang tanpa gol. Sayang, Louis Van Gaal punya seorang Tim Krul yang dimasukkannya di menit terakhir perpanjangan waktu untuk membuyarkan impian Kosta Rika melaju ke semifinal.

Dalam hidup, ada banyak orang yang begitu memperhatikan detail dalam semua yang dilakukannya. Mereka begitu peduli pada proses, begitu perfeksionis dalam melihat “bagaimana” sesuatu diperoleh. Kepuasan mereka ada pada kesempurnaan langkah demi langkah dalam mencapai tujuan. Namun, ada banyak orang pula yang hanya melihat “apa” yang bisa ia dapat, tak peduli caranya. Mereka cenderung pragmatis, dan berpikir bahwa konsekuensi dari tindakan mereka adalah urusan nanti, tak perlu dipikirkan sekarang. Yang mana pilihan anda, silakan bertanya pada diri anda sendiri.

2. Orang Yang Tepat Pada Situasi Yang Tepat

Hingga Belanda melaju ke perempat final, seorang Tim Krul belum bermain semenitpun. Maklum, ia hanyalah kiper ketiga di Tim Oranye setelah Jasper Cillessen dan Michel Vorm. Namun di menit terakhir perpanjangan waktu dalam pertandingan perempat final melawan Kosta Rika, Van Gaal menurunkannya menggantikan Cillessen. Van Gaal melihat bahwa catatan “prestasi” Krul dalam adu penalti lebih baik ketimbang Cillessen. Melihat bahwa tak ada lagi peluang untuk membuat gol di perpanjangan waktu, Krul dimasukkan dan terbukti ia sukses membendung dua tendangan pemain Kosta Rika yang memastikan Belanda lolos ke semifinal. Masih dari tim Belanda, cerita sebaliknya terjadi di semifinal ketika mereka berhadapan dengan Argentina. Karena memaksakan gol di masa perpanjangan waktu, Van Gaal memasukkan Klaas Jan Huntelaar menggantikan Robin Van Persie yang terlihat sudah kelelahan. Jatah pergantian tiga pemain yang sudah habis tidak memungkinkan Krul untuk masuk seperti saat melawan Kosta Rika. Tanpa bermaksud merendahkan kemampuan adu penalti seorang Cillessen, faktanya semua tendangan pemain Argentina berhasil membobol gawang Belanda, dan dua tendangan pemain Belanda berhasil digagalkan kiper Argentina Sergio Romero. Dalam situasi ini, Van Gaal sebenarnya butuh dua sosok penting: Krul dan Van Persie. Krul punya potensi membendung tendangan para pemain Argentina, dan Van Persie punya peluang membuat satu gol. Namun itu tidak terjadi, dan Belanda harus puas berebut tempat ketiga.

Itulah, dalam hidup kita terkadang berada pada situasi tertentu di mana kita membutuhkan orang tertentu pula. Dalam banyak kasus, “orang tertentu” itu bukanlah mereka yang kita pandang hebat selama ini. Seperti yang sering diucapkan mereka yang bijak, bahwa “terkadang malaikat itu tak bersayap, tak cemerlang, tak juga bercahaya”. Akan terjadi bahwa seorang yang kita anggap “rendah”, “bukan siapa-siapa” atau biasa-biasa saja akan menjadi “dewa penyelamat” dalam kehidupan kita.

3. ‘Pembangkitan Motivasi’ Tidak Sama Dengan ‘Sombong’

Ketika Brasil lolos ke perempat final setelah mengalahkan Chile di babak 16 besar, pelatih Luiz Felipe Scolari menyatakan pada pers bahwa “satu tangan Brasil sudah menggenggam Piala Dunia”. Saat itu, untuk menggenggam Piala Dunia Brasil bersama tim perempat finalis lainnya masih harus menjalani tiga laga lagi: perempat final, semifinal, dan final. Brasil memang menang lagi di perempat final atas Kolombia (yang memakan “korban” bintang mereka Neymar) dan lolos ke semifinal. Namun di babak itu, Brasil—yang berhadapan dengan Jerman—harus menanggung malu dengan “rekor” kebobolan terburuk dalam sejarah semifinal Piala Dunia sejak bergulir tahun 1930, yakni kebobolan tujuh gol dengan lima di antaranya dalam 30 menit pertama pertandingan. Organisasi permainan mereka kocar-kacir tanpa struktur, dan Jerman menjadikan lapangan pertandingan layaknya sebuah training ground bagi mereka. Sangat terlihat bahwa kehilangan Neymar yang cedera dan sang kapten Thiago Silva yang terkena akumulasi kartu kuning membuat Brasil seperti sebuah tim yang baru belajar bermain sepakbola.

Kesombongan memang tidak pernah baik. Saat perjalanan mencapai tujuan masih panjang, kita sebaiknya waspada dan mawas diri, bahwa banyak hal masih bisa terjadi dalam rentang perjalanan itu. Membangkitkan motivasi diri (dan tim) dengan sombong adalah dua hal berbeda. Ketika kita sudah mengatakan bahwa garis finis sudah di depan mata saat kita baru berada di separuh perjalanan, kita adalah orang-orang yang sombong. Namun saat kita merasa yakin bahwa kita akan sampai di garis finis saat semua terlihat masih berat dan panjang, itulah pembangkitan motivasi diri.

4. Kerjasama Tim vs ‘One Man Plus Plus

Sejatinya sepakbola adalah sebuah olahraga tim yang dimainkan oleh sebelas orang dengan peran dan tugas masing-masing. Tim-tim seperti Jerman dan Belanda adalah gambaran yang nyaris sempurna dalam konteks ini. Sepakbola memang memerlukan sinergi yang kuat antar lini, kerjasama yang solid antar pemain, serta penerapan strategi bermain yang benar-benar melibatkan sebelas orang, bahkan pemain yang sedang tidak menguasai bola sekalipun. Namun beberapa kontestan Piala Dunia 2014, harus saya akui, tidak bisa menunjukkan hal ini. Mereka adalah kesebelasan-kesebelasan yang sangat kental bergantung pada satu-dua pemain. Lihat Portugal, yang sangat “Ronaldo-sentris”. Begitu pula Brasil, yang sangat bergantung pada kinerja seorang Neymar. Argentina pun demikian, sangat bergantung pada Lionel Messi. Kecuali Argentina yang secara mengejutkan (bagi saya pribadi) bisa melaju hingga partai puncak, kegagalan Portugal yang bahkan tidak lolos fase grup dan Brasil yang hancur lebur di semifinal adalah gambaran bahwa sepakbola tidak bisa dimainkan hanya dengan berharap pada kemampuan satu-dua pemain, sementara yang lain hanya berperan sebagai ‘pendukung’. Ketika tim-tim seperti itu harus berhadapan dengan sebuah kolektifitas seperti yang ditunjukkan Jerman, hasilnya fatal (Portugal kalah telak 0-4 dan Brasil hancur lebur 1-7). Argentina sebenarnya nyaris mendapat hasil serupa saat melawan Belanda di semifinal, ketika statistik menunjukkan bahwa penguasaan bola dan peluang lebih banyak dimiliki Belanda. Beruntung, dewi fortuna menyertai mereka hingga lolos lewat adu penalti. Pendapat saya, bila Argentina menjadi juara Piala Dunia 2014, ini adalah preseden buruk untuk sepakbola, karena sepakbola akan menjauh dari nilai fundamentalnya: sebuah olahraga tim.
[Namun sejarah Piala Dunia menunjukkan ini pernah terjadi, ketika Argentina di tahun 1986 menjadi juara dunia “hanya” dengan jerih payah seorang Diego Armando Maradona].

Ketika berada pada sebuah situasi yang menuntut kerjasama tim, bekerjalah sebagai sebuah tim. Beri porsi yang seimbang pada semua anggota tim sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya. Sebuah kelompok yang hebat bukanlah kelompok yang memiliki seorang “bintang” tapi tak didukung oleh anggota lainnya, melainkan kelompok yang terdiri atas sekumpulan orang yang berkomitmen kuat untuk mencapai tujuan bersama (meskipun kemampuan individu dalam kelompok mungkin tidak terlalu istimewa). To achieve a common goal, we don’t need a great man; we need a great team.

SEKOLAH BERNAMA “KEHIDUPAN” (SEBUAH SURAT)

images

Lelaki itu terpaku penuh haru di kursi ruang kerjanya. Ia menatap satu persatu apapun yang ada di ruangan itu, ruangan yang telah menjadi tempatnya bekerja selama lebih kurang 14 bulan terakhir. Tempat yang sebenarnya tidak ia harapkan, namun perlahan tapi pasti telah menumbuhkan benih-benih cinta di hatinya. Cinta yang lahir laksana cinta seorang bapak kepada anak-anaknya; sebuah cinta kepada orang-orang yang bekerja di sekelilingnya. Sesaat rasa harunya memuncak menjadi tetesan air mata, ketika ia mengingat betapa luar biasanya Tuhan telah memelihara dia dalam hidupnya.

Ingatannya kembali pada masa puluhan tahun lalu, ketika ia masih seorang anak kecil yang kurus kering, dan duduk di bangku SD di Jambi. Ia mengenang masa di mana ia harus “mengemis” uang 8500 rupiah kepada pamannya untuk membayar uang bulanan sekolahnya (SPP). Ia juga mengingat masa di kala ia dan Ibunya harus menjadi “babu” saat ada acara-acara keluarga besar Ayahnya. Berjongkok di dapur, dan baru makan bila ada sisa-sisa makanan yang dikembalikan ke dapur, sementara keluarga besar yang lain berpesta di ruang tengah rumah pamannya. Ya, Ayahnya yang hanya seorang petani yang mengolah tanah pamannya “tidak dianggap” oleh keluarganya yang lain yang jauh lebih berada.

Ia seorang anak SD yang hanya bisa “bengong” melihat teman-temannya bermain bulutangkis, karena orang tuanya tak mampu membelikan ia raket yang ia minta. Keramaian acara-acara di sekolahnya ia lalui dengan “menonton” teman-temannya yang berkali-kali membeli jajanan, karena uang jajannya terlalu sedikit untuk membeli makanan atau minuman, dan itupun ia pilih untuk disimpan. Hari-harinya di rumah ia lalui dengan membantu Ibunya menjaga warung kecil di teras kontrakannya, sambil makan nasi bertabur garam (agar tak terlalu hambar). Bila sedikit beruntung dan ada sedikit cabe di rumah, Ibunya membuatkan sambal yang kemudian ia aduk-aduk di nasinya agar terlihat merah seperti nasi goreng—sebuah kenangan yang membuatnya sekarang begitu menyukai nasi goreng.

Karena tak sanggup membiayai kehidupan di kota Jambi, keluarganya pindah ke tanah pamannya yang dikelola sang Ayah, 20-an kilometer dari kota. Tiga tahun di tempat itu, rumah kecilnya yang berdinding papan, berlantai tanah dan beratap jerami terbakar tanpa sisa. Ia dan keluarganya pun merasakan hidup menumpang di rumah Pak RT selama lebih kurang 3 bulan, sebelum Ayahnya berhasil mendapatkan sebuah rumah kosong milik seorang tuan tanah. Tak sampai satu tahun di situ, keluarganya “diusir” karena rumah itu akan digunakan oleh si pemilik tanah. Dalam situasi terdesak, Ayahnya pun menjadikan gubuk/dangau tempat istirahatnya di ladang menjadi rumah, dengan membalut gubuk itu dengan seng bekas, begitu pula atapnya. Keluarganya merasakan rangkaian siang yang amat panas, dan malam yang amat dingin. Di tempat itu pulalah si lelaki kecil itu pertama kali mengenal malaria.

Selain obat dari Puskesmas desa, saat terkena malaria itu Ibunya selalu mengolesi tubuhnya dengan spiritus yang mereka gunakan di lampu petromax untuk mendinginkan badannya yang mengejang karena panas. Begitulah, ia menjalani keseharian dengan sangat sederhana (mandi di sumur yang berjarak 50-an meter dari rumah, buang air besar di tengah ladang dengan selalu membawa cangkul Ayahnya—untuk menggali tanah, dan seember kecil air), sehingga ia nyaris tak pernah bermimpi untuk bisa meneruskan sekolah ke SMA. Dua adiknya juga butuh biaya, dan orang tuanya hanya petani miskin. Seketika ia menjadi begitu dewasa, dan merelakan dirinya untuk bekerja membantu orang tua di ladang (atau bekerja dengan orang lain), agar adik-adiknya tetap bisa sekolah.

Tapi sepertinya ia lelaki yang ditakdirkan untuk mengalami berbagai “keajaiban” dalam hidupnya. Prestasinya di SMP (yang selalu ranking pertama sejak semester I hingga semester VI dan Ebtanas, dan dua tahun menjadi Ketua OSIS) mempesona sang Kepala Sekolah yang lalu menawarinya mendaftar ke sebuah unggulan yang baru akan dibuka. Gratis, itulah alasan ia mau menerima tawaran itu dan memberanikan diri mendaftar ke Komando Resort Militer (Korem) di Jambi, ditemani Kepala Sekolahnya. Ia harus bersaing dengan 350-an siswa-siswa hebat lainnya se-antero Provinsi Jambi, memperebutkan jatah tiga kursi untuk duduk di kampus SMA itu di Magelang, Jawa Tengah. Itu mungkin “kompetisi” berat pertama dalam hidupnya, sebuah pertaruhan untuk jalan menuju masa depan yang telah Tuhan bukakan untuknya.

Ia belajar, berlari sekencang-kencangnya saat ujian jasmani, dan menjalani ujian renang hingga nyaris tenggelam (karena terlalu memaksakan diri). Ia lolos ujian demi ujian, dengan jumlah peserta yang makin hari makin sedikit. Di hari pengumuman, iapun harus terduduk lemas karena ia hanya peringkat keempat, dan dinyatakan tidak berangkat ke Magelang karena kuota yang hanya tiga. Dengan segala berkas dan pakaian kotor di tangannya, iapun pulang, menangis karena impian merasakan bangku SMA-nya kandas. Tapi itulah, keajaiban mendatanginya lagi. Dua hari berselang seorang anggota Komando Rayon Militer (Koramil) datang ke rumahnya, meminta dia dan Ayahnya untuk datang ke Korem. Dengan angkutan umum, mereka berangkat untuk menerima sebuah berita baik: kuota Jambi ditambah dua orang karena ada daerah/provinsi lain yang tak sanggup memenuhi kuota mereka sehingga “jatah” itu dialihkan. Impian SMA-nya pun terwujud; sebuah sekolah unggulan, tanpa biaya pula.

Itu tak berarti ia bebas dari segala polemik. Tiga tahun ia jalani tanpa sekalipun orang tuanya datang ke kampusnya, karena ketiadaan biaya. Lagi-lagi, saat banyak rekannya berbagi waktu dengan orang tua mereka saat hari libur di kampus, ia hanyalah penonton, dan malah menghabiskan waktunya untuk belajar di kamar. Itulah awal segala kemandiriannya, hidup untuk dirinya sendiri, mengatur semua sendiri, dan “bertarung” sendiri untuk masa depannya. Iapun memutuskan sendiri untuk bergabung ke Akabri, lagi-lagi karena itu gratis. Tiga tahun di Akabri Udara Yogyakarta berlalu dengan nyaris sama dengan masa SMA-nya: sendiri. Orang tuanya baru bisa datang dari Jambi (dengan sedikit memaksakan) saat ia dilantik menjadi perwira di Istana Negara.

Ah, lamunan laki-laki itu menjadi terlalu panjang, dan perlu sebuah ketukan di pintu ruangannya untuk menyadarkannya. Seorang anak buahnya menghadap, meminta ijin untuk mengantar anaknya ke rumah sakit.

“Kamu pakai apa ke rumah sakit?”, ia bertanya pada si anak buah.

“Siap pakai motor, Komandan”, jawab si anak buah.

“Pakai mobil dinas saya, biar anakmu ngga kena angin di jalan. Lagi sakit kok kamu kenain panas sama angin”

“Siap tidak apa-apa, Komandan”

“Pakai mobil. Ini perintah!”

“Siap Komandan!”

Percakapan berakhir di situ, dan tak lama kemudian ia melihat dari jendela ruangannya mobil dinas Taruna-nya bergerak dari tempat parkir. Ia kembali teringat ketika harus ke Puskesmas saat ia terkena malaria, dengan dibonceng sepeda onthel oleh Ayahnya—satu-satunya kendaraan yang mereka punya. Rasa dingin dan lemas membuat sepeda itu beberapa kali oleng di jalan, karena ia nyaris jatuh dari kursi belakang. Kini, ia memberikan mobil dinasnya untuk membawa siapapun anggotanya (atau keluarga mereka) yang sakit, karena itulah satu-satunya mobil yang layak di satuannya. “Saya bisa pakai mobil saya sendiri”, itu yang selalu ia katakan pada anak buahnya.

Itulah antara lain yang sekarang ia pahami dari kehendak Tuhan menempatkannya di sini, tempat yang tak ia harapkan. Lahirnya rasa cinta ketika ia melihat satu persatu wajah anak buahnya, dan menempatkan mereka di hatinya sama seperti anak-anaknya sendiri. Ia prihatin dengan tempat kerja mereka, dan merombaknya sedikit demi sedikit agar lebih nyaman. Ia bahkan nyaris lupa pada ruang kerjanya sendiri, yang akhirnya ia percantik dengan rangkaian wallpaper yang ia tempel sendiri. Keterbatasan sumber daya membuat kepalanya berdenyut setiap hari, ketika harus mencari jalan keluar untuk sesuatu yang ingin ia perbaiki buat anak buahnya.

Hari ini, hampir 14 bulan ia di sini, dan sudah ada perintah baginya untuk menduduki jabatan yang baru di Jakarta. Dan di ruangan ini, ia akhirnya tersenyum ketika mengingat kembali apa yang ia katakan saat apel pagi di hadapan para prajuritnya:

Pahamilah, bahwa Tuhan merancang hidupmu dengan sempurna. Kamu hanya perlu mengikuti apa yang Dia rencanakan bagimu. Tidak ada yang tidak mungkin, selama kamu yakin bahwa itu memang jalan yang sudah Tuhan gariskan. Saya belajar bahwa hidup kita adalah ‘sekolah’ yang sempurna, yang memberi kita banyak pelajaran hebat. Dari pelajaran-pelajaran hidup itulah, saya bisa melepaskan diri dari rasa takut, khawatir, cemas atau apapun istilahnya. Saya berani berhadapan dengan apa dan siapa saja, karena saya tahu Tuhan ada bersama saya. Saya tahu itu, meskipun saya belum pernah melihat Tuhan. Tapi hidup saya membuktikan, ribuan kali Tuhan menunjukkan kehebatanNya melepaskan saya dari apapun yang saya anggap sudah tidak mungkin. Hargai hidupmu, karena itulah ‘sekolah’ terbaikmu.”

==============================

Kepada Yth:

Tuhanku, yang untuk melukiskan kebaikanNya aku belum menemukan kata-kata yang tepat.

Tembusan:

1. Ayah dan Ibuku, yang melalui mereka aku bisa merasakan Tuhan itu ada.

2. Mbah Sadi dan Mbah Trinem di surga, kuingin kalian tahu bahwa aku begitu merindukan kalian.

3. Istri dan anak-anakku, yang begitu membuatku selalu ingin pulang ke rumah.

4. Para prajuritku, yang telah memberikan pundaknya sebagai tempatku berdiri semakin tinggi dari hari ke hari.